
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) tengah menciptakan gelombang baru dalam dunia konten digital. Bagi para content creator—baik yang berkiprah di YouTube, TikTok, Instagram, maupun blog pribadi—AI menjadi alat baru yang mengubah cara mereka berkarya. Di Indonesia, fenomena ini tak hanya memengaruhi para kreator besar di kota-kota besar, tapi juga membuka peluang bagi talenta dari daerah, termasuk NTB.
AI Sebagai Katalis Produktivitas
AI saat ini mampu membantu dalam berbagai tahap produksi konten, seperti:
- Riset tren melalui analisis data audiens,
- Penulisan naskah dengan bantuan platform seperti ChatGPT,
- Pembuatan desain visual dan thumbnail dengan Canva AI atau Adobe Firefly,
- Hingga penyuntingan video otomatis lewat tools seperti Pictory atau Descript.
Dengan begitu, seorang kreator tak harus menjadi ahli di semua bidang. AI memungkinkan mereka untuk tetap produktif dengan sumber daya yang terbatas.
Peluang Besar bagi Kreator Lokal
Salah satu dampak positif AI yang sering luput dibahas adalah demokratisasi kreativitas. Dengan tools yang semakin mudah diakses dan banyak yang gratis, kini kreator dari daerah seperti Lombok, Sumbawa, bahkan pelosok Indonesia Timur, punya kesempatan yang sama untuk tampil dan bersaing di level nasional hingga global.
Bayangkan seorang remaja dari Sumbawa yang punya ide cerita menarik. Tanpa perlu alat mahal, ia bisa menulis skrip dengan AI, buat ilustrasi dengan Midjourney, dan rekam suara narasi dengan AI voice generator. Dalam waktu singkat, lahirlah konten yang bisa bersaing dengan produksi profesional.
Ketegangan antara AI dan Komunitas Seniman
Namun di balik potensi yang ditawarkan, muncul juga suara protes—terutama dari kalangan seniman visual, ilustrator, musisi, dan penulis. Banyak yang merasa karya mereka diambil secara tidak adil untuk melatih model AI, tanpa izin dan tanpa kompensasi.
Misalnya, beberapa AI image generator dituding “meniru gaya” artis-artis tertentu karena dilatih dengan data visual yang tersedia di internet, termasuk karya seni yang dilindungi hak cipta. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa AI dapat menciptakan hasil yang “terlihat asli”, namun mengaburkan batas antara inspirasi dan pencurian artistik.
Akibatnya, muncul gerakan #NoAIArt dan kampanye untuk menuntut transparansi dalam data pelatihan AI. Beberapa platform bahkan mulai menambahkan opsi untuk mencegah karya mereka dipakai oleh AI (opt-out dari dataset pelatihan).
Tantangan Etika dan Orisinalitas
Di sisi content creator, tantangan lain adalah soal orisinalitas dan kejujuran dalam berkarya. Ketika konten bisa dibuat dengan bantuan AI, apakah itu masih bisa disebut “karya orisinal”? Bagaimana dengan dampaknya pada lapangan kerja kreatif?
Inilah pentingnya edukasi dan regulasi. Kreator harus jujur dalam menyebutkan peran AI dalam proses kreatif mereka, dan tetap mengutamakan nilai tambah manusia: empati, emosi, dan cerita otentik.
Masa Depan: Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Alih-alih melihat AI sebagai pesaing, kita perlu mengarah pada pendekatan kolaboratif. AI bisa mengambil alih tugas-tugas teknis dan repetitif, sementara seniman dan kreator fokus pada eksplorasi ide, nilai-nilai budaya, dan ekspresi personal.
Sebagai seorang yang aktif di bidang komunikasi, keamanan informasi, dan bela diri, saya pribadi melihat AI bukan hanya sebagai teknologi, tapi sebagai alat pemberdaya. Dalam tangan yang tepat, AI bisa membantu menciptakan konten yang tidak hanya menarik, tapi juga mendidik dan membangun masyarakat. Namun, kita harus tetap menjunjung etika digital, menghormati hak kekayaan intelektual, dan menjaga agar kreativitas manusia tetap menjadi pusat dari setiap karya.